buku sejarah

Penundaan Penerbitan Buku Sejarah Resmi: Kritik “Historical Amnesia” Meningkat

Politik

Penundaan Buku Sejarah Resmi Picu Kehebohan Publik

Pemerintah Indonesia telah menunda penerbitan sebuah proyek buku sejarah resmi Indonesia yang awalnya dijadwalkan rilis bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 2025. Keputusan ini muncul di tengah kritik luas dari sejarawan, aktivis, dan publik terkait narasi histori yang dianggap mensterilkan atau mengabaikan tragedi masa lalu. Kritik diarahkan pada proses penulisan sejarah yang tertutup dan tanpa partisipasi publik.

Dokumen tersebut merupakan proyek besar, terdiri dari 10 jilid yang mencakup narasi sejarah bangsa dari masa kemerdekaan hingga saat ini. Namun, para kritikus menyebutnya sebagai bentuk historical amnesia, yang menghindari bab gelap seperti peristiwa kontroversial tahun 1965–66 dan keterlibatan tokoh militer masa lalu seperti Prabowo Subianto. Surveksi terhadap naskah menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa buku ini justru akan menjadi alat politik untuk meredam ingatan sejarah dan melemahkan pentingnya reformasi.

Protes ini mendapat dukungan luas, terutama dari generasi muda dan kelompok akademik yang menuntut narasi sejarah yang terbuka, inklusif, dan berbasis bukti. Penundaan publikasi ini kemudian dipandang sebagai kemenangan simbolik gerakan sipil dalam menjaga integritas sejarah bangsa.


Kritik Profesional dan Publik atas Isi Buku Sejarah Resmi

Banyak sejarawan dan peneliti menilai naskah awal buku tersebut mengandung omisi signifikan, seperti menutup-nutupi peran militer dalam pelanggaran HAM, tragedi 1965–66, dan persekusi terhadap komunitas Tionghoa. Tuntutan untuk transparansi semakin kuat karena tidak adanya proses publikasi draf atau forum diskusi terbuka sebelum buku dicetak.

Aktivis Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mendesak pemerintah untuk mencabut proyek ini dan merevisi narasi sejarahnya. Mereka berargumen bahwa peran negara bukan hanya sebagai penjaga kenangan bangsa, tetapi juga pelindung kebenaran sejarah. Keterlibatan berbagai pihak—akademisi, masyarakat adat, penyintas—diharapkan dapat membentuk narasi yang lebih adil dan komprehensif.

Penundaan ini kemudian tidak hanya menjadi soal waktu rilis, tetapi juga simbol bahwa publik masih memiliki kekuatan untuk melawan penulisan sejarah yang bersifat elitis atau politis. Seruan untuk pembukaan proses penulisan narasi sejarah menjadi sorotan utama diskursus nasional hari ini.


Sejarah Kontroversi Penulisan Sejarah Resmi

Upaya menstandarkan narasi sejarah melalui buku resmi bukan hal baru di Indonesia. Dalam perjalanan reformasi, sempat terjadi dialog panjang tentang perlunya otoritas negara mengambil kendali narasi demi menjaga rasa kebangsaan. Namun, langkah tersebut dinilai rentan terhadap instrumentalitas politik.

Sejarah mencatat beberapa proyek serupa di berbagai negara—dengan risiko mengabaikan sisi gelap pemerintahan lalu atas nama stabilitas politik. Generasi muda merasa hal serupa kini coba dijalankan melalui buku sejarah baru ini. Narasi seperti itu berlawanan dengan semangat reformasi dan demokrasi.

Penundaan ini menjadi kesempatan untuk menghadirkan model baru dalam penulisan sejarah nasional—yang lebih terbuka, kritis, dan responsif terhadap relasi kekuasaan, subjek terlupakan, dan dinamika masyarakat kontemporer.


Reaksi Pemerintah dan Langkah Ke Depan

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menyatakan bahwa penundaan penerbitan adalah respons atas masukan publik dan akan digunakan untuk merevisi konten. Mereka menjanjikan dialog lebih lanjut dengan pihak akademik dan komunitas. Namun, detail mengenai kapan buku akan diterbitkan dan pihak-pihak yang dilibatkan belum diumumkan.

Sejumlah tokoh publik menyerukan dibukanya proses revisi yang melibatkan BPUPKI akademisi, guru sejarah, serta pemerintah daerah—terutama karena narasi sejarah memiliki implikasi pada pendidikan dan kebijakan kebangsaan. Transparansi, menurut mereka, bukan pilihan—tapi keniscayaan dalam penulisan sejarah.

Kelompok masyarakat sipil menyatakan kesiapan untuk membantu melalui forum publik, workshop penulisan sejarah alternatif, dan pelibatan generasi muda agar sejarah bukan hanya dibuat, tetapi dipelajari secara kritis.


Penutup

Kasus penundaan buku sejarah resmi Indonesia menjadi isu penting di tahun 2025. Ini bukan sekadar tentang penundaan penerbitan, tetapi momentum untuk merefleksikan cara kita menanggapi sejarah bangsa. melalui keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi.


Kesimpulan

Buku sejarah resmi Indonesia haruslah narasi yang mencerminkan kompleksitas bangsa—bukan yang menyederhanakan demi kenyamanan politik. Proses penulisan yang inklusif dan kritis adalah jalan menuju historiografi yang menghormati masa lalu dan memupuk masa depan demokratis.


Referensi